Pengertian al Wala’ dan al Bara’

Apakah yang disebut Al Wala’ (Cinta Karena Allah) dan Al Bara’ (Benci karena Allah) ?

Jawaban:

Cinta karena Allah dan benci karena Allah artinya melepaskan diri dari segala sesuatu yang Allah berlepas tangan darinya seperti yang difirmankan-Nya, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4).

Allah juga tidak bertanggung jawab kepada orang-orang musyrik seperti yang difirmankan-Nya, “Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 3)

Maka setiap orang mukmin harus melepaskan diri dari orang musyrik dan kafir. Berlepas diri dalam hal ini bersifat pribadi.

Di samping itu, seorang muslim harus membebaskan diri dari segala amal yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun tidak sampai pada derajat kafir, seperti perbuatan fasik dan maksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Al-Hujurat: 7).

Jika seorang mukmin mempunyai keimanan sekaligus berbuat maksiat, maka kita mencintainya karena keimanannya dan kita membencinya karena kemaksiatannya. Itulah yang seharusnya kita terapkan dalam kehidupan kita. Kadang-kadang Anda memakan obat yang rasanya tidak enak dan Anda tidak suka rasanya, tetapi Anda tetap meminumnya karena obat itu bisa menyembuhkan penyakit.

Sebagian orang mukmin ada yang benci kepada orang yang berbuat maksiat melebihi kebenciannya kepada orang-orang kafir, ini termasuk sifat ujub (membanggakan diri sendiri) dan memutarbalikkan realitas. Orang kafir adalah musuh Allah , Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, maka kita harus membencinya dengan sepenuhnya hati kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Mumtahanah:1).

Kemudian firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51).

Orang-orang kafir itu tidak akan ridha kepada kalian kecuali jika kalian mengikuti agama mereka seperti yang difirmankan Allah, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120).

Kemudian firman Allah, “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman.” (Al-Baqarah: 109).

Kekafiran di sini mencakup segala macam bentuk kekafiran seperti penentangan, pengingkaran, kedustaan syirik dan ilhad.

Sedangkan dari aspek perbuatan kita harus berlepas diri dari segala amal perbuatan yang haram dan tidak boleh bagi kita mencintai amal perbuatan yang diharamkan dan tidak pula melakukannya. Kita harus berlepas diri dari orang-orang mukmin yang berbuat maksiat, tetapi kita tetap mencintainya dan menjadikannya wali karena keimananyang ada padanya.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 193-196.

Tinggalkan komentar